14 Manfaat Sholat 5 Waktu
Sholat dalam islam adalah salah satu wujud dari doa hamba kepada Allah, yang sudah menciptakannya, dan memberinya nyawa. Rangkaian gerakan tersebut di awali dengan takbiratul ikhram dan di akhiri dengan salam.
Waktu Sholat Wajib dalam Islam
Sudah menjadi kewajiban sehari-hari untuk umat muslim melaksanakan sholat. Pasalnya kegiatan ini menjadi penentu apakah ia orang muslim atau orang kafir. Bukan hanya sekali saja mengerjakannya, namun setiap hari ada 5 waktu sholat. Dimana waktu tersebut tidak dilakukan secara bersamaan. Namun sesuai dengan jam matahari, yakni :
- sebelum matahari fajar terbit
- matahari berada di tengah-tengah
- matahari berada di barat
- matahari hamper tenggelam, kala waktu senja
- matahari hilang diganti dengan malam
Bukan tanpa maksud Tuhan menciptakan 5 waktu ini untuk bermunajat kepadaNya. Sebab diwaktu-waktu itulah terdapat manfaat ketika seseorang menjalankan sholat. Gerakan yang diajarkan juga bukan sembarang polah tingkah asal asalan. Gerakan ini mengandung makna, bahkan menjadi senam ringan.
Manfaat sholat 5 waktu bagi orang yang senantiasa melakukannya, maka wajahnya nampak berseri-seri. Sebab hampir setiap waktu ia membasuh wajah minimal 5 waktu sehari. Selain itu karena ketundukan dan kepatuhan pada Sang Kuasa, menjadikan diri anda terlihat lebih menyejukkan. Anda tak percaya? Cobalah.
Sumber Pustaka ; http://manfaat.co.id/manfaat-sholat
Sumber Pustaka ; http://manfaat.co.id/manfaat-sholat
Tari Kontemporer Seharusnya Berorientasi pada Tubuh
“Prasyarat utama tari kontemporer adalah menghadirkan tubuh yang cerdas,” tegas Dr. Bambang Pudjaswara dalam diskusi Obrolan Tari Tembi (OTT) di Tembi Rumah Budaya, 5/2/12.
Menurut Pudjaswara, pusat orientasi harus ada pada tubuh, bukan gerak. Dengan demikian koreografer harus melatih atau membuat tubuh yang cerdas, responsif dan sensitif terhadap waktu dan ruang, serta berekspresi lebih bebas. Tubuh harus menjadi representasi tari diri dari subyek.
Dengan kata lain, jelas Pudjaswara, tubuh dipaksa untuk membuat bahasa (language) yang normatif –bukan tuturan (parole) yang lebih ekspresif– dan harus distilir atau diperindah. Misalnya, motif dari gerak yang kecil sampai gerak yang besar dianggap sebagai rangkaian gerakan yang indah.
Padahal, Pudjaswara melihat, dalam banyak kasus seringkali tubuh belum siap mengartikulasikan gerak sehingga gerak menjadi bagian asing dari tubuh. Sering ditemui karya yang tidak menyatu dengan tubuhnya
Persoalan lain yang diangkat Pudjaswara adalah pentingnya mencari identitas tari kontemporer Indonesia. Selama ini imej tentang tari kontemporer adalah Barat, khususnya Amerika Serikat. Hal ini ditunjang oleh buku-buku teks yang dipakai perguruan tinggi tari di Indonesia. Ketika Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) berdiri pada tahun 1960an diktat dan buku yang banyak diterjemahkan dan dipelajari berasal dari koreografer dan penari Amerika Serikat. Semisal Isadora Duncan, Martha Graham dan Doris Humphrey, yang masih menjadi referensi utama sampai sekarang.
Jadi, kata Pudjaswara, buku-buku ini kemudian ditempatkan menjadi standar baku penciptaan tari. Padahal buku-buku tersebut hanya merupakan bagi-bagi pengalaman atau sharing dari penulisnya. Orang bisa hanya mengambil sebagian materi yang dianggap relevan.
Diskusi ini juga disertai showcase tari oleh Mila Rosinta yang membawakan karya ciptaannya ‘Sang Kaca Rasa’ dan Cakil Widianarto yang membawakan ciptaannya ‘Anak Wayang’.
Diskusi ringan tapi bernas ini, sebagaimana judulnya, sebatas “melirik” tari kontemporer. “Kalau ‘melihat’ perlu diskusi yang panjang,” ujar Bambang Paningron, pemrakarsa dan koordinator acara.
Diskusi yang diselenggarakan oleh Tembi Dance Company ini rencananya akan diadakan pada setiap awal bulan di Tembi Rumah Budaya dengan tema tari yang berbeda-beda. Diskusi selalu disertai showcase tari.
Pudjaswara sekaligus menegaskan bahwa tari kontemporer tidak harus dari Barat tapi bisa berangkat dari tradisi masing-masing. Tradisi bukan sekadar dirawat (diuri-uri) tapi perlu pandangan-pandangan baru sehingga tak cuma menduplikasi yang sudah ada.
“Prasyarat utama tari kontemporer adalah menghadirkan tubuh yang cerdas,” tegas Dr. Bambang Pudjaswara dalam diskusi Obrolan Tari Tembi (OTT) di Tembi Rumah Budaya, 5/2/12.
Menurut Pudjaswara, pusat orientasi harus ada pada tubuh, bukan gerak. Dengan demikian koreografer harus melatih atau membuat tubuh yang cerdas, responsif dan sensitif terhadap waktu dan ruang, serta berekspresi lebih bebas. Tubuh harus menjadi representasi tari diri dari subyek.
Sementara, kata Pudjaswara, banyak penari yang menjadikan gerak sebagai pusat orientasi, bukan tubuh. Tubuh penari hanya menjadi media atau alat gerak, hanya alat untuk memproduksi gerak. Tubuh dituntut untuk membahasakan gerak sebagai tari. Gerak pun harus indah atau distilir sehingga menjadi beban bagi tubuh.
Dengan kata lain, jelas Pudjaswara, tubuh dipaksa untuk membuat bahasa (language) yang normatif –bukan tuturan (parole) yang lebih ekspresif– dan harus distilir atau diperindah. Misalnya, motif dari gerak yang kecil sampai gerak yang besar dianggap sebagai rangkaian gerakan yang indah.
Padahal, Pudjaswara melihat, dalam banyak kasus seringkali tubuh belum siap mengartikulasikan gerak sehingga gerak menjadi bagian asing dari tubuh. Sering ditemui karya yang tidak menyatu dengan tubuhnya
Persoalan lain yang diangkat Pudjaswara adalah pentingnya mencari identitas tari kontemporer Indonesia. Selama ini imej tentang tari kontemporer adalah Barat, khususnya Amerika Serikat. Hal ini ditunjang oleh buku-buku teks yang dipakai perguruan tinggi tari di Indonesia. Ketika Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) berdiri pada tahun 1960an diktat dan buku yang banyak diterjemahkan dan dipelajari berasal dari koreografer dan penari Amerika Serikat. Semisal Isadora Duncan, Martha Graham dan Doris Humphrey, yang masih menjadi referensi utama sampai sekarang.
Jadi, kata Pudjaswara, buku-buku ini kemudian ditempatkan menjadi standar baku penciptaan tari. Padahal buku-buku tersebut hanya merupakan bagi-bagi pengalaman atau sharing dari penulisnya. Orang bisa hanya mengambil sebagian materi yang dianggap relevan.
Diskusi ini juga disertai showcase tari oleh Mila Rosinta yang membawakan karya ciptaannya ‘Sang Kaca Rasa’ dan Cakil Widianarto yang membawakan ciptaannya ‘Anak Wayang’.
Diskusi ringan tapi bernas ini, sebagaimana judulnya, sebatas “melirik” tari kontemporer. “Kalau ‘melihat’ perlu diskusi yang panjang,” ujar Bambang Paningron, pemrakarsa dan koordinator acara.
Diskusi yang diselenggarakan oleh Tembi Dance Company ini rencananya akan diadakan pada setiap awal bulan di Tembi Rumah Budaya dengan tema tari yang berbeda-beda. Diskusi selalu disertai showcase tari.
Pudjaswara sekaligus menegaskan bahwa tari kontemporer tidak harus dari Barat tapi bisa berangkat dari tradisi masing-masing. Tradisi bukan sekadar dirawat (diuri-uri) tapi perlu pandangan-pandangan baru sehingga tak cuma menduplikasi yang sudah ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar